Kamis, Oktober 9

Tenggelam



jerit bocah itu tidak akan mampu mendobrak barisan ombak yang maju desak-mendesak ke bibir pantai yang hitam. wajah karang terpahat suram. terkutuk kelam. dan ada sepasang pemuda yang berjalan biasa saja seakan tak ada peristiwa. seakan tidak terjadi apa-apa.

ada dengus napas berjalan pelan. sempoyongan tubuhnya oleh berat beban kaki kiri dan kanan maju satu per satu menyusuri lorong bisu. lalu hening yang panjang. sepasang pemuda berlarian, melukis senyum di kanvas petang. tampaknya daratan. usaha menggapai permukaan hanya buatku terkapar. semakin ke dasar.

izinkanlah aku mengunyah apa saja. agar tubuhku kuat melawan luka yang sudah menjajah kedua mataku. akal sehatku. keinginan hidupku. atau peluklah aku sebelum malam datang bersama dinginnya. bulan datang bersama gelapnya. tapi, hanya sepasang pemuda muncul melepas tawa.

lalu rinduku mencari jalan keluar yang tidak akan pernah dijumpainya. karena permukaan terlalu jauh. seorang gadis tidak tersentuh datang dari masa lalu. dan sepasang pemuda sama sekali tidak terharu. diam seakan tidak ada cinta. seakan sudah sepantasnya. berjalan begitu saja.

gerak menjauh dari tubuhku. gelap.

Kamis, Agustus 7

Kaktus



Informasi terlalu banyak berdesak masuk mendobrak mata. Lalu ada serak yang tertinggal di tangisan kaktus, di jeritan kaktus. Berita pukul tiga sore. Layaknya aku yang tertinggal darimu. Komputer, layar yang mati, aku memohon dalam puisi ini. Maukah kau lipat jarak ini?

Ada orang yang jadi korban politik. Kemudian sekongkol dalam bisik yang paling dalam, yang paling gelap. Jari meratap dalam jajaran tembok kemarau. Layaknya aku yang meratap untukmu. Manusia, Gedung Konstitusi, aku memohon dalam sepi ini. Maukah kau lipat jarak ini?


Kauturun tangga setiap sore. Barisan polisi buat empat ring di wajahmu. Ada gerak yang gelisah di iringan tawa yang basah. Pengemis menggigil dalam dansa kota yang dingin. Layaknya aku yang menggigil karenamu. Trotoar, pagi hari, aku bertanya dalam pekik ini. Kapan habis jarak ini?

Selasa, Agustus 5

Bicara



Padahal, bendera dan senjata itu sudah meratap di hadapan batu nisan. Jihadis sadar jalan pulang penuh papan petunjuk. Waktu bergegas terburu ke arah utara. Tapi, mata kita terus bicara.

Kita cuma dua orang yang bertemu tanpa rencana. Ada mobil yang menderita luka bakar. Seorang anak memakan luka, menelan letih, lalu menghisap bara. Tapi, mata kita terus bicara.

Maukah kaubahas rencana? Di antara alunan doa yang sudah berdebu. Pekik dan jerit yang berlarian hingga menetes harap di sela tapak yang tegak di atas olok. Mendamba cemara. Cuma, mata kita terus bicara.